Jumat, 22 Mei 2009


Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya Undang-Undang Perbankan Syariah akhirnya diayahkan oleh DPR-RI pada hari Selasa, 17 Juni 2008. Pengesahan UU Perbankan Syariah ini tidak mulus karena hanya 9 fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU menjadi UU, sementara satu fraksi yaitu Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) menolak RUU itu.

Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.

Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.

Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.

Sehingga yang mejadi pertanyaan adalah apakah dengan disyahkan  undang-undang perbankan syariah telah memberikan perbaikan dalam pengembanggan perbankan syariah itu sendiri..untuk itu kami mencoba bertanya kepada pimpinan Bank BRI syariah cabang pekanbaru,Bpk SEPYAN UHYADI berikut petikan wawancara nya.

Bagamana tanggapan bapak terhadap pengesahan undang-undang perbankan syariah?

Sambil tersenyum beliau menjawab,”waduh kalau ditanya tentang itu saya gak bisa berkomentar jujur saja sampai saat ini saya belum tau isi dari undang-undang perbankan syariah itu sendiri,dan kmi merasa belum ada implikasi dari undang undang tersebut terhadap kami”.

Apa ada perubahan yang bapak lakukan dalam opersional di bank BRI Syariah ini setelah disahkan undang-ungan perbankan syariah?

“sebagaimana yang saya katakana tadi bahwah efek dari disayhkan undang-undang perbankan sariah itu belum ada,menurut saya bank sayriah dengan bank konfensional tidak begitu berbeda kalau mengenai aturan kami masih mengacu pada undangperbankan yang disana juga menyebutkan tentang pergankan syariah

Bagaiman dalam pengembangna produk?

Dalam pengembangna produk juga tidak ada pengarunya,produk yang ada di BRI syariah kmi sendiri tidak berbeda dengan produk perbankan konfensional,kalau di bank konfensional ada giro,tagungan,dan deposito,didalam bank BRI syariah juga ada.tetapi sistem dan akad nya aja yang berbeda yakni dengan menggunakan sistem syariah.misalnya kalau diperbankan konfensional giro itu diberikan balas jasa berupa bunga tetapi kalau diperbankan syariah diberikan berupa bonus”.

Apa produk BRI sariah saat ini pak?

“Karena kami masih tergolong baru untuk saat ini kami belum memiliki produk unggilan,namun untuk kedepanya kami ingin menjadikan Bank BRI sariah ini menyadi bank termaju dan termodern di Indonesia,saat ini kami sedang mempersiapkan infrastuktur,khususnya pada IT,demi mendukung produk-produk kami nantinya.”

Dari sini kita dapat melihat bahwa

 kurang berkembangnya perbankan syariah kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.

Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.

Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.

Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.***hto